Aerial mapping vs aerial photograph
“Mas saya punya drone D*i Ph@nt*m, dan dapat tawaran memotret lahan untuk rencana perumahan, setelah client saya melihat drone saya, kok katanya drone saya tidak bisa dipakai untuk aerial mapping?”.
Agar tidak penasaran apa itu drone DJ! ph@nt*m, saya tampilkan gambarnya.Sebelum lebih jauh saya singgung mengenai aerial mapping dan aerial photograph, ada baiknya saya batasi ulasan saya pada lensa kamera. Namun sebelum itu aerial mapping seperti yang saya pelajari di geodesi geomatika mensyaratkan 3 unsur jarak, luasan, dan bentuk yang sama antara foto dengan keadaan nyata dilapangan. Karena dalam pengukuran tidak ada yang sempurna, sama dalam hal ini ada batasannya, yaitu toleransi akurasi. Karena ke 3 unsur tersebut dapat diukur dan dihitung dengan angka.
Sedangkan aerial photograph tidak menyaratkan hal tersebut. Karena 3 unsur tersebut sebuah drone yang digunakan untuk pemetaan data dengan hasil akhir berupa peta teknis diperlukan kalibrasi. Saya membatasi aspek kalibrasi pada tulisan ini. Batasan saya pada lensa kamera. Kita mengenal beberapa macam jenis lensa kamera seperti lensa zoom atau tele, lensa fish eye, lensa fix, lensa cembung dan sebagainya.
Pernahkah anda memotret jendela secara tegak lurus? Apakah jendela tersebut benar-benar lurus di sisi-sisinya?
Apabila kita memotret dengan lensa zoom atau lensa fisheye, saya pastikan semua sisi jendela tersebut akan melengkung. Inilah yang disebut distorsi lensa. Mengapa sisi jendelanya tidak lurus. Ganti lensanya dengan lensa fix. Apakah sisi jendela akan lurus? Secara kasat mata iya, namun apabila kita letakkan gambar tersebut ke software engineering seperti autocad dan kita tarik garis lurus adri ujung ke ujung sisi jendela, nampak terjadi kelengkungan, kelengkungan ini disebut distorsi, walau nilainya kecil.
Perhatikan ilustrasi gambar disamping. Terdapat kaitan antara tampalan foto udara dengan distorsi pada gambar yang dihasilkan. Mayoritas kamera small format seperti keluaran Canon, Nikon, Panasonic, Sony, dan lainnya, lensa bawaan kamera bukanlah kamera metric yang dikalibrasi. Meskipun dilakukan kalibrasi sebelum digunakan terbang dengan drone atau UAV, parameter kalibrasi seringkali berubah tidak teratur. Karena efek distorsi dan nilai parameter kalibrasinya yang berubah, kita bisa menerapkan area tampalan yang besar.
Mengapa?
Saya menganalogikakan cerita foto jendela tadi. Apabila kita meletakkan obyek di tengah tengah jendela berupa persegi, kemudian difoto secara bersamaan termasuk jendelanya, efek kelengkungan sisi-sisi vertikal dan horizontal lebih terasa pada jendela besar. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya efek distorsi lebih banyak berpengaruh pada pinggir-pinggir area foto.
Apakah hal tersebut berpengaruh terhadap aerial mapping? Jawabnya iya. Karena selain terjadi deviasi jarak yang besar, area juga akan mengalami tarikan sehingga bentuk tidak sama dengan keadaan dilapangan. Kalau kita melakukan pemotretan udara dengan lensa kamera jenis ini tanpa menambah tampalan yang besar akibatnya banyak area yang jarak dan bentuknya tidak sama dengan keadaan nyata dilapangan.
Apabila foto udara dilakukan pengolahan dengan sofware agisoft photoscan, terdapat laporan yang menggambarkan distorsi kamera Dji phantom 3 pro. Bisa download disini manual pengolahan dengan agisoft photoscan. Berikut hasil percobaan saya dengan client yang bergerak di jasa perminyakan.
DJI mengklaim bahwa DJI Phantom 3 Pro menggunakan kamera dengan lensa F/2.8 dengan94⁰ field of view. Saya sendiri tidak tahu persis apakah lensa ini dedikatif dibuat sebagai lensa fix. Menurut saya kamera DJI Phantom 3 Pro mempunyai distorsi yang menyebar dan tidak konsisten. Padahal idealnya kamera untuk foto udara format kecil sebaiknya memiliki distorsi yang konsisten di bagian tengah.Mayoritas kamera bagus distorsinya berada di bagian bagian samping sebuah gambar, dan tengahnya cenderung kecil distorsinya. Apakah distorsi ini bisa dihilangkan? Jawabnya tidak. Distorsi akan selalu menyertai lensa kamera, meskipun lensa mahal sekelas Leica pun juga memiliki distorsi, hanya saja karena kamera yang dedicated untuk foto udara format kecil biasanya dilakukan kalibrasi dengan biaya yang mahal, distorsinya sudah signifikan berkurang.
Itulah kenapa di gambar saya pertama meyertakan simulai foto udara dengan drone. Dimana terdapat tampalan/overlap antar image. Agar overlap yang besar selain untuk menambah presisi dalam pembentukan model 3D dan mosaik, juga berfungsi untuk mengurangi efek distorsi kamera dibagian tengah area.
Jadi untuk menjawab pertanyaan diatas, tentu saya kembalikan kepada rekan saya, apakah hasil foto udara dengan drone tersebut menghasilkan vector normal yang kecil dan merata di bagian tengahnya? Cara nya lakukan pemotretan dengan overlap 50% satu jalur terbang, dan proces dengan agisoft photoscan pro. Analisa hasilnya. Ingat jarak, luasan, dan bentuk antara foto dan kenyataan mendekati sami. Jadi bisa atau tidaknya drone untuk aerial mapping terletak pada distorsi lensa kameranya. Bukan pada wahananya.
Semoga bisa menjawab pertanyaan yang selama ini sering mampir di kontak WA saya.
Pak Dosen,
software apa saya yang dapat ngolah point cloud?
ada banyak pak, hampir semua software UAV bisa digunakan untuk mengolah pointcloud, software lidar, arcgis dg plugin pointcloud, software laser scanner juga bisa