Antara VTOL rakitan kami, PPK, CORS dan Fix solution
Kami memulai riset kecil penggunaan GNSS RTK/PPK pada UAV tahun 2015. Waktu itu jenis yang kami pakai adalah single frequency dengan kemampuan RTK. Dari berbagai hasil uji darat dengan menggunakan metode statik, menurut saya masih banyak PR yang harus kami lakukan. Kami sendiri belum berani menjual produk rakitandari receiver GNSS low cost tersebut. Bukan karena kami tidak mampu, tapi kami merasa tidak akan mampu menangani komplain dari user akibat issues yang kami hadapi saat itu seperti overheat, signal mudah lost, dengan metode diam/statik kalau sudah lebih dari 40 menit unit sering restart sendiri, dan tidak tahan dipakai di panasan.
Tahun ini 2021, kami melanjutkan lagi riset tersebut dengan menggunakan receiver GNSS yang mampu menangkap multi frekuensi L1, L2, dan L5. Saya tampilkan gambar kemampuan receiver tersebut pada windowing signal GNSS dibawah ini. Kode frekuensi dapat dilihat pada pojok kanan bawah. Sedangkan kemampuan jenis satelit yang ditangkap ditampilkan pada sebelah kiri gambar kode G (GPS=USA), R (Glonass=Rusia), E(Galilleo = Uni Eropa), J (QZSS = Jepang).
Tujuan tes kali ini adalah metode kinematik PPK yang mana akan membutuhkan paling tidak 1 data koreksi dari GNSS Base yang saya ambil dari stasiun CORS milik Badan Informasi Geospasial di dekat pantai Parangtritis. Berikut keterangan stasiun dan parameter pengolahan data dengan menggunakan software OPENSOURCE RTKLib.
Jarak Lokasi uji ke Stasiun CORS CPTS | : Kurang lebih 30 km |
Metode pengolahan | : Kinematik |
Mask Angle | : 25 Derajat |
GNSS yang digunakan | : GPS, Glonass, Galileo, QZSS, BeiDou |
Iono/Tropo correction | : Broadcast |
Satelit Ephemeris | : Broadcast |
Integer ambiguity | : Fix and Hold |
Datum / Height | : WGS 84 / Ellipsoidal |
Speed terbang VTOL rata-rata | : 50-60 km/jam |
Software pengolahan PPK / Drone | : RTKlib – RTKPost / VTOL rakitan kami sendiri |
Gambar berikut ini adalah hasil daripengolahan data tersebut. Gambar jalur terbang sebelah kiri adalah single processing tanpa koreksi dimana jejak perekaman GNSS sebagai warna orange yang berarti float. Sedangkan gambar sebelah kanan jejak jalur penerbangan berwarna hijau yang berarti fix. Saya menampilkan 2 jenis plotting hasil olahan untuk melihat perbedaan pengolahan metode single (absolut) dan kinematik yang mendapatkan koreksi dari stasiun CORS.
Titik-titik baik berwarna orange dan hijau adalah posisi update rate receiver GNSS. Sedangkan untuk posisi tiap jepretan kamera ketika pesawat terbang tersimpan pada file event yang jumlahnya sama antara marking time perekaman GPS dengan jumlah foto. Hal ini dikarenakan unit VTAL rakitan kami menggunakan modul shutter yang kami produksi sendiri dengan mencabang dari flightcontroller ke kamera dan GPS. Untuk melakukan geotagging tidak perlu melakukan singkronisasi waktu dengan menggeser geser waktu yang tentunya tidaklah efisien. Metode ini kami yakini sangat praktis dan mudah dilakukan oleh siapapun.
Kesimpulannya untuk penggunaaan reciever GNSS pada drone atau VTOL sangat memungkinkan meski kecepatan terbang hinga 60 km. Dengan hasil uji terbang kami menggunakan koreksi dari statiun CORS BIG dan jarak 30 km, masih dapat memperoleh data fix. Data ini tidak kami peroleh pada ujicoba pada tahun 2015.
Berikut ini gambar VTOL rakitan yang kami gunakan. Unit menggunakan bodyframe skywalker T-Tail 2014, mekanik tilt motor buatan sendiri.
Yogyakarta, 10 Mei 2021