DTM dari drone
“Download data dari UAV langsung dapat data kontur tanah”
Seorang rekan dekat saya yang kebetulan teman SMA istri saya, dan juga pernah satu kantor di perushaan tambang batubara mengabari saya baru saja diberi brosur produk UAVs yang menyampaikan hal demikian.
Sebelumya saya pernah menulis tentang kontur DTM dimana saya menjelaskan sedikit mengenai kontur dari data UAV/drone. Silahkan dibaca lagi bagi yang tertarik. Hanya saja saya masih berfikir keras, siapa gerangan yang mampu membuat sebuah UAV dengan hasil data sudah berupa kontur di atas tanah? Apakah teknologi itu memang sudah ada? ataukah saya yang kurang update dengan kemajuan teknologi UAV saat ini.
Bukan menyangsikan, namun hal itu mungkin, hanya saja rasanya dibutuhkan kombinasi automatis antara drone, software klasifikasi ground dan non ground, serta sebuah komputer handal dengan spesifikasi yang tinggi. Ini menurut saya loh. Sejauh pengetahuan saya, mayoritas UAV yang beredar di negara kita masih menggunakan sensor kamera RGB, kalaupun ada yang menggunakan sensor lain masih amat sangat sedikit dan harganya pasti mahal. Sebut saja Aib*tix, drone buatan Jerman ini membawa sensor kamera RGB dari jenis DSLR. Dari web resmi yang saya baca drone ini menggunakan sensor Sony ILCE-6000, Sony ILCE-7R, Workswell WIRIS 640, Parrot Sequoia, Headwall Nano-Hyperspec. Disini saya tidak mendapati sensor Lidar. Jangan tanya harganya berapa, yang pasti di atas 1 milyar rupiah. Penekanan saya adalah data dari UAV itu berupa image, saya sebut sebagai data raster. Dimana dibutuhkan software lain untuk membuat menjadi satu kesatuan atau mosaik seperti Agisoft photoscan, Pix4D, atau APS Menci.
Apakah software ini bisa menghasilkan kontur? Jawabannya bisa. Software-software tersebut mampu menghasilkan data berupa digital surface model (DSM). DSM adalah gambaran permukaan bumi dalam 3D dimana terdapat obyek seperti rumah, pohon, semak, rumput, tiang listrik, gedung pencakar langit, dsb.
Apakah dari DSM bisa dibuat garis kontur? Jawabannya bisa. Ini ilustrasinya. #abaikan nilai estetikanya. Namun kontur yang terbentuk akan berada di atas obyek2 diatas. Jadi akan ada garis kontur yang berada di atas rumah dan pohon. Apabila DSM yang langsung digenerate jadi kontur. Perhatikan gambar dibawah ini. Garis pink adalah garis ilustrasi DSM. Apabila kontur yang dibuat dari DSM maka garisnya konturnya akan berada di obyek paling atas dari data. Obyeknya bisa apa saja. Diatas rumah, diatas pohon, diatas semak.
Bagaimana apabila saya ingin garis kontur hanya diatas tanah saja? Apakah bisa? Jawabannya bisa.
Dari software-software di atas bisa dibuat kontur yang berada di atas tanah, bukan di atas pohon dan rumah. Nah kontur jenis ini dibuat dari digital terrain modelling atau DTM. pada gambar disamping DTM digambarkan oleh garis coklat agak merah yang berada di atas tanah. Dari pengalaman saya, untuk membuat DTM dari software yang saya sebutkan diatas, dengan fasilitas rumus yang disediakan secara otomatis, menurut saya masih kurang maksimal. Masih ada bangunan rumah, sebagian semak, dan obyek kecil2 lain diatas tanah. Kita bisa men delete manual, caranya ada disini. Apabila menggunakan agisoft photoscan pro, cara mendelete manual ini kurang efisien dari segi waktu dan butuh kerja keras untuk men-delete pointcloud selain ground. yang menjadi masalah ketika membuang pointcloud misalkan sebuah pohon dengan tajuk rapat renggang adalah ketidak adaan titik dibawah bayangan daun, ranting dan cabang. Sehingga data point dibawah pohon tersebut menjadi lubang. Nah ini kekurangan pointcloud dari UAVs dengan sensor kamera RGB. Sebenarnya teknologinya sudah ada apabila ingin menghasilkan data DTM dari sebuah UAV dengan hasil yang lebih baik, dimana masih ada data point dibawah pohon yang rimbun. Sensornya pakai sensor LIDAR, bukan sensor kamera RGB untuk men-generate pointcloudsnya. Sebut saja pembuat sensor lidar untuk UAV seperti Velodyne, Riegl, Phoenix, Yellow scan, dan lainnya. Gambar berikut ini sebagian dari sensor-sensor tersebut.
Sensor ini begitu kecil dan ringan, Butuh keberanian dan juga budget sebesar USD 7999 (Velodyne) menyematkannya ke dalam sebuah drone/UAV? Untuk ukuran sebuah perusahaan tentu bukan masalah besar dengan harga tersebut, tapi bagi orang-orang seperti saya yang hanya bisa mencoba kocek dari kantong pribadi, tentu sebuah pengorbanan yang sangat serius. Saya akan lebih memilih untuk membeli sebuah roda 4 mungil dengan budget segitu, biar kalau pulang dari rumah uti, anak anak ga kehujanan diajalan (curcoal 😆 ). Di Indonesia saya yakin sudah ada yang menggunakan sensor ini. Saya sendiri minim informasi tersebut.
Koreksi apabila saya keliru. Pemahaman saya sensor lidar seperti layaknya total station, menembak laser ke obyek dipermukaan bumi, dan pantulannya dibaca dalam bentuk koordinat dan intensitas. Jadi apapun yang ada dipermukaan bumi akan direkam. Untuk memisahkan antara obyek non ground dengan ground tetap dibutuhkan download data dan diprocess dengan sofware di komputer. Misalkan terrascan, riscan pro, atau software sejenis bawaan sensor tersebut. Jadi setelah terbang raw data masih DSM, bukan DTM. Tapi bisa jadi karena kebodohan saya, saya salah terka untuk hal ini. Karena saya sendiri belum pernah mencobanya saya pasangkan di UAV saya.
Semoga bermanfaat.