DTM series | Klasifikasi obyek ground dan non-ground
Setiap ditanya bagaimana kualitas data DTM dari drone atau UAV, parameter yang sering dijadikan acuan selalu dan tidak bukan adalah mengenai akurasi dan presisi data baik foto udara itu sendiri, data GNSS yang digunakan untuk geotagging, dan pengukuran GCPnya.
Parameter numerik tersebut memang bisa dijadikan salah satu acuan ketelitian data drone/UAV. Namun ada langkah lain yang sangat menentukan ketelitian DTM itu sendiri selain yang saya sebutkan diatas. Yaitu bagaimana memisahkan obyek ground dan non ground. Kelihatannya sepele namun tahapan ini tidak kalah besar kontribusinya dalam menentukan akurasi dan presisi DTM yang dihasilkan baik dari sumber pointclouds maupun dan raster DSM.
Mengapa saya katakan begitu, salah dalam mengklasifikasikan semak ke dalam gundukan tanah atau hard surface akan menyebabkan timbulnya spike yang digambarkan sebagai garis kontur yang melingkar-lingkar dengan ujung makin mengecil, bisa ke arah atas, atau ke arah bawah. Jikalau semak tersebut tingginya kisaran 1.5, maka kesalahan garis kontur di area tersebut ya kisaran 1.5 m secara vertikal. Bukankah ini jadi masalah serius?
Perhatikan gambar dibawah ini.
Beberapa software telah memberikan metode klasfikasi secara automatis. Ini tentu menguntungkan karena tidak perlu melakukan klasifikasi secara manual yang menuntut kesabaran dan waktu yang panjang. Namun adakalanya algoritma software cocok pada kondisi tertentu seperti terrain ekstreem seperti gambar diatas, namun tidak cocok pada area yang relatif datar dengan pemukiman padat. Gambar diatas saya menggunakan sudut perkiraan surface 35 derajat dengan sampling area dibagi per 50 meter dengan jarak deteksi point per 1 meter. Dengan metode yang sama saya terapkan pada area pemukiman, hasilnya kurang memuaskan menurut saya. Ada beberapa area yang tidak seharusnya ground malah jadi ground, dan sebaliknya. Perhatikan gambar berikut ini.
Hasil klasifikasi diatas bila saya cocokan dengan kenyataan dilapangan masih ada beberapa yang seharusnya non-ground masih dianggap ground, dan begitu pula sebaliknya.
Apakah ini artinya untuk membuat DTM dari data drone dibutuhkan metode trial and error? Saya sendiri sebenarnya kurang sepakat dengan kesimpulan tersebut, namun kenyataanya dari banyak data yang saya olah, parameter klasifikasi ini tidak bisa sama, dan masih tetap dibutuhkan klasifikasi secara manual. Beberapa software menyediakan program macro yang dapat dimodifikasi sesuai keinginan. Bahkan dalam 1 area studi bisa dilakukan metode pengkelasan bermacam macam rumus.
Gambar berikut ini adalah contoh hasil klasifikasi obyek ground dan non-ground yang cukup berhasil. Berhasil dalam artian jikalau dilakukan uji peta di lapangan.
Yogyakarta, 12 November 2018