Dukun juga manusia
Anda tau dukun? Pernah ke dukun? Nah, sebuah pertanyaan menarik dilontarkan kepada saya, kira-kira begini ” Mas, saya punya drone pabrikan dari China, harganya murah ga sampai 15 juta, saya pakai motret, sempat remote dan drone terhalang oleh pohon besar, dan ternyata data foto dari drone setelah terhalang itu tidak ada. Kenapa begitu ya?”
Ini pertanyaan sulit yang mendasar. Mengapa saya sebut demikian. Pertama saya yakin si pembuat drone sebenarnya sudah memberikan tata cara pakai dan limitasi drone tersebut, atau biasa kita kenal dengan manual book, mungkin di dalamnya sudah disampaikan keterbatasan dari drone tersebut, seperti kondisi apabila signal radio link terhalang dan putus. Kedua pertanyaan tersebut juga mengandung bentuk kekecewaan yang dibalut dengan keinginan dronenya bisa lebih, dalam hal ini terhalang tapi drone tetap motret.
Kembali ke pertanyaan saya tentang dukun. Mungkin dalam mindset orang-orang yang mempercayai teknologi seperti dukun adalah murah, bagus, handal, bisa apa saja. Kurang lebih samalah dengan dukun. Maaf saya tidak menjustifikasi ya, tapi menggambarkan mindset kebanyakan orang. Nah begitu juga dengan teknologi. Ketika sebuah teknologi baru muncul, harapan bahwa teknologi tersebut mampu menggantikan teknologi lama selalu tersematkan secara otomatis. Kita bicara drone tadi. Hampir mayoritas drone pabrikan dibekali autopilot. Dan menurut saya autopilot yang tersematkan di drone pabrikan tidak ada yang mampu merekam jalur terbang tanpa terkoneksi dengan remote kontrol. Ini artinya sebuah jalur terbang tersimpannya di remote kontrol, bukan di drone. Bagaimana kejadiannya apabila komunikasi antara drone dan remote kontrol putus?
Sebenarnya di dalam drone itu sendiri sudah difasilitasi tindakan apa yang bisa kita lakukan apabila drone dan remote kontrol putus komunikasinya. Seperti misalnya drone milik saya merk DJI Phantom 3 Pro (ini milik saya ya,,,, ingat, milik saya). Meskipun saya menggunakan program mapping yang canggih, seperti katakanlah Pix4D, dronedeploy, datamapper inflight, tetap saja ketika drone dan remote kontrol terputus koneksinya, drone akan mengalami masa blank. Masa blank ini bisa di set ke dalam tindakan seperti hover, return to home, atau melanjutkan terbang apabila sudah terkoneksi kembali dengan remote kontrol. Nah pengetahuan dasar inilah yang kadang belum tereksplore pada teknologi baru.
Saya sebut kasus lain, user sebuah drone menginginkan sebuah drone bisa digunakan mapping dengan akurasi tinggi. Karena melihat hasil foto dan mosaiknya sudah sesuai dengan kenyataan. Namun kata “sesuai” kadangkala membutuhkan sebuah parameter, yaitu ukuran. Kata teliti sendiri dalam dunia pemetaan berkaitan erat dengan standar dan uji data. Nah untuk bisa memastikan sebuah produk turunan dari foto udara yang dihasilkan dari sebuah drone, dibutuhkan standar ketelitian data dan uji data. Setelah melakukan 2 jenis kegiatan ini, baru bisa dikatakan data tersebut akurat atau tidak, meski secara visual bentuk, warna, tataletak obyek, dan penampakan lainnya sama dengan kenyataan. Inilah yang ingin saya sampaikan bahwa setiap teknologi memiliki kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Saya tidak menyebutkan terbatas, karena pada dasarnya setiap inovasi bisa dikembangkan ke inovasi yang lebih tinggi levelnya.
Jangankan teknologi mas, dukun aja punya spesialisasinya sendiri-sendiri. Bukan begitu?
Yogyakarta, 13 Februari 2017