GAGAL MISSION, prajurit dipanggil pulang
Alam tak pernah bisa dilawan. Sehebat apapun teknologi manusia, ia tiada berdaya ketika melawan sedikit saja kedigdayaan alam. Itulah yang terjadi pada project kami minggu ke 2 di bulan desember 2016 di Borneo. Pada hari ke 3 dimana kami harus menyelesaikan area seluas 7600 ha, rupanya angin kencang berhembus hingga membuat ground speed pesawat mendekati 0 km/jam yang artinya pesawat tidak berpindah posisi.
Bahkan pada log telemetry data flight diatas pesawat sempat mengalami perputaran akibat terbawa angin yang sangat kencang hingga mendekati ground speed 100km/jam. Ini sangat mungkin terjadi dimanapun kita sedang memotret. Angin yang tiba-tiba berubah arah tanpa terduga sama sekali.
Apakah ini berbahaya? Jawab saya tentu saja iya. Melakukan pengukuran angin pada kondisi diatas 400 meter di atas home bukanlah pekerjaan mudah. Karena bisa saja angin bertiup sepoi-sepoi dibawah berbeda dengan speed angin yang bertiup diatas. Untuk itu analisa ketinggian yang bisa menyebabkan angin bertiup bolak balik diperlukan sebelum terbang.
Gambar diatas menunjukan penampang melintang yang dibuat dengan GE. Garis hitam vertikal adalah perkiraan posisi pesawat pada saat terbawa angin. Perkiraan kami (saya dan mas Thoha) pesawat masuk ke dalam pusaran angin yang bertiup memutar mirip seperti lesus atau topan. Melihat profil memanjang area tersebut memang sangat mungkin. Pada hari itu angin bertiup kencang dari arah barat, atau dari sebelah kanan grafik, dimana angin turun dari barisan perbukitan tinggi menuju cekungan dan kembali angin menuju ke atas karena membentur bukit, sehingga angin yang dihasilkan berbentuk seperti badai kecil yang mampu menyeret pesawat dengan kecepatan hingga 100km/jam.
Jenis yang kami gunakan pada saat itu adalah jenis T-tail seperti gambar disamping ini. Dengan konfigurasi 2 baterai jangkauan pada angin normal bisa mencapai 70 km dan durasi sempat menyentuh 1 jam 30 menit.
Mungkin diantara rekan-rekan akan bertanya kenapa tidak menggunakan jenis delta seperti X-8 misalkan?
Jenis delta seperti X-8 memang sangat efisien. Namun apabila melihat kondisi angin seperti itu, kami berkesimpulan delta akan mengalami stall dan jatuh. Menggunakan T-tail dari speed tidak secepat model delta, namun kelebihan T-tail adalah pada ketinggian yang cukup meski pesawat mengalami stall masih mampu recovery dan kembali seimbang. Video diatas menunjukkan pesawat masih bisa dipanggil pulang meski sudah kehilangan orientasi arah. Apabila kejadian serupa menimpa model delta, saya sendiri ragu pesawat masih bisa di return to home.
Tentunya setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dan ada kondisi dimana penggunaan T-tail lebih cocok daripada tipe delta. Begitu juga sebaliknya. Ada kondisi dimana X-8 lebih cocok digunakan daripada T-tail. Dari segi operasional memang T-tail lebih mudah diadaptasi daripada X-8. Inilah alasan kami kenapa lebih banyak menggunakan model T-tail daripada model delta.
Pasti pada penasaran tentang datanya kan?
Yup benar sekali, lajur tersebut kami ulang, dan data tidak bisa diproses. Karena pesawat sudah jauh keluar jalur. Menurut kami sebenarnya angin kencang tidak masalah, asal arahnya tetap, namun angin yang lebih pelan dengan arah yang berubah ubah itu malah lebih berbahaya. Untuk itu safeflight itu penting. Akan sia-sia rasanya apabila memaksakan terbang pada kondisi yang tidak aman ketika angin bertiup kencang dan angin sering berubah arah. Apakah masih berfikir model T-Tail tidak mampu menyelesaikan area diatas 5.000 ha? Gambar dibawah ini buktinya.
Total foto 5360 images, area boundary seluas 7600 ha, dan overlap per 100 meter. Hingga tulisan ini dipublish, processing masih berjalan. Kejadian yang terekam pada log diatas sebenarnya tidak menunda misi kami sama sekali, dan tidak menyebabkan kerusakan pada unit kami. Alasan kenapa saya menulis pengalaman tersebut adalah untuk berbagi cerita bahwa ada kelebihan pada model T-tail untuk kondisi angin yang berputar putar meski sudah posisi terbalik sekalipun akan tetap kembali terbang mencari posisi seimbang dan bisa dipanggil pulang secara otomatis. Hal ini belum pernah saya temui pada jenis delta seperti X8. Pengalaman saya menggunakan jenis delta skelas X8 apabila terkena angin seperti itu akan mengalami stall dan pesawat bisa dipastikan sampai dipermukaan bumi lebih cepat tanpa bisa di panggil pulang.
Tentu saja untuk area yang lebih luas model delta X8 dengan kecepatannya yang tinggi lebih efisien, berbeda dengan model T-tail. Namun dengan konfigurasi 2 baterai dan durasi hingga 1.5 jam dengan kecepatan angin yang kencang, mengapa kita harus memaksakan diri membawa model delta dimana untuk area take off landing tidak se fleksibel model T-tail. Inilah point yang ingin saya sampaikan. Dan project 7600 ha tersebut kami selesaikan dalam waktu 4 hari terbang, itupun kami sempat tidak bekerja sehari karena hujan. Dan yang terpenting unit kami aman tanpa kekurangan suatu apapun. Alhamdulillah.