Kontur UAV, akuratkah?
Tahun 2013 saya melakukan uji coba sekaligus pilot project dengan sebuah perusahaan sawir terbesar di Indonesia. Tema pilot project tersebut adalah untuk menguji ketelitian UAV aerial mapping, hingga kontur yang diperoleh dengan men-generate- dari data pointclouds. Pilot project ini juga sebagai bahan untuk menjawab pertanyaan mengenai ketelitian UAVs aerial mapping yang sering disampaikan ke saya.
Sebagai acuan dari workflow UAVs aerial mapping yang pernah saya sampaikan sebelumnya. Kami berencana akan memotret area seluas 400 ha, namun karena waktu yang terbatas dan kondisi angin yang lumayan besar sehingga area yang dipotret hanya setengah dari rencana awal. Kami memasang GCPs kurang lebih 5 buah. Setelah melakukan penerbangan di hari pertama, dan processing data di malam hari, esok hari kami melakukan uji kualitas data dengan peralatan berupa total statio.
Selain data peta foto udara, kami juga menguji kontur dari hasil UAVs aerial mapping. Interval kontur yang kami buat yaitu 1 meter. Sebelum mendapatkan kontur, data pointclouds yang saya generate dengan software agisoft photoscan saya olah kembali dengan software LIDAR, terrasolid terrascan. Saya export pointclouds dengan format *LAS, dan saya lakukan klasifikasi. Kemudian data pointcloud ground diambil contour key point dengan interval 1 meter dan parameter area 5 m x 5 m.
Saya ajak surveyor ke lapangan dan memilih secara random tempat tempat yang mereka “inginkan” untuk diuji hasilnya. Uji ini untuk melihat berapa perbedaan nilai koordinat antara kontur UAV dengan hasil survey. Oh ya, peralatan yang saya gunakan biasanya 2 jenis, total station atau GPS geodetik type RTK. Tapi karena pada saat itu hanya ada total station, maka saya hanya menggunakan 1 unit saja. Mengapa? Karena saya berfikiran dengan 2 alat ini bisa langsung diketahui koordinat (easting, northing, dan elevasi) titik tersebut langsung dilapangan. Sebagai informasi tambahan, lokasi area ini kondisi pohon sawitnya sudah usia tua dengan tajuk yang rapat. Berikut tampilannya.
Waktu itu cara kami membandingkan data tersebut sangat sederhana. Kontur UAVs aerial mapping saya buka dengan global mapper. Tim survey melakukan perekaman titik-titik koordinat secara acak sesuka hati mereka dimana-mana saja yang ingin diuji tanpa saya ikut mendampingi ke titik uji tersebut.
Mereka merekam beberapa titik dan langsung mencatatnya ke kertas. Melalui komunikasi dengan radio HT, mereka membacakan satu-persatu koordinat titik di lokasi. Karena yang pertama kami uji adalah elevasi konturnya. Maka nilai tersebut langsung saya plot ke global mapper dan di overlay dengan data kontur dari hasil UAVs aerial mapping satu hari sebelumnya. dan gambar berikut ini menunjukkan jumlah data yang diuji dan diplot ke global mapper. Dengan fasilitas di global mapper kami langsung menghitung deviasi. Nilai deviasi terlampir pada kolom deviasi_tinggi. Untuk uji posisi 2 D kami hanya membandingkan yang terbaca pada alat dengan obyek di foto udara.
Dari hasil uji tersebut kami bisa menyimpulkan apakah data kontur dari UAVs aerial mapping dengan hanya menggunakan 5 GCPs akurata atau tidak. Toleransi akurat setiap perusahaan berbeda-beda. Bagi pekerjaan sipil konstruksi tentu ini tidak akurat, tapi bagi project untuk pembuatan kemiringan data tersebut sudah cukup. Apalagi hanya untuk dapat arah aliran air. Jadi selain syarat-syarat pengambilan data yang sesuai prosedur, maka akurasi data UAVs aerial mapping juga tergantung pada spesifikasi toleransi pekerjaan yang ditetapkan oleh pemberi pekerjaan.
Semoga bermanfaat. Silahkan kontak saya untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai pilot project ini.
mas Sigit, terimakasih banyak atas share pengalaman dan pengetahuannya
sama sama om, silahkan diikuti artikel selanjutnya