Autoshutter by Distance a.k.a record by distance pada GNSS RTK, modifikasi komunikasi ala Ardi vs Mira
Beberapa orang belakangan mulai menanyakan apa bedanya unit UAVs yang kami buat dengan produk lain. Pertanyaan ini ditujukan untuk sekedar bertanya mengobati rasa penasaran, namun juga bisa jadi bertanya karena ingin membuat produk sejenis. Tak masalah tentunya, karena semuanya bisa ditemukan dalam sistem open source yang bertebaran di internet. Sebelumnya saya sudah pernah menulis mengenai 2 jenis mode shutter pada UAVs, yang pertama adalah jenis shutter by time, dan yang kedua adalah jenis shutter by distance. Anda bisa membaca kembali tulisan saya tersebut disini.
Perhatikan gambar disamping ini. Ini adalah project awal saya kurang lebih pada awal tahun 2013. Waktu itu UAVs yang kami gunakan masih menggunakan mode shutter by time. Biasa parameter waktu yang di input adalah 1 detik. Artinya per 1 detik kamera akan merekam gambar. Kondisi terbang di pagi hari dan hembusan angin relatif tenang.
Hal apa yang bisa kita tarik kesimpulan dari gambar disamping.
Pertama, jelas terlihat adanya overlap yang tidak teratur. Mengapa? Dari gambar saja sudah sangat terlihat bagaimana terjadi perbedaan jarak antar satu posisi kamera terhadap kamera yang lain. Apakah hal ini berimbas pada data. Jawabnya bisa iya bisa juga tidak. Berimbas pada proses orthomosaic apabila kebetulan jarak yang renggang tersebut tidak memenuhi syarat tie point dan keypoint sebagai dasar mosaik. Tidak berimbas pada proses orthomosaic apabila jarak renggang tersebut masih masuk dalam toleransi tiepoint dan keypoint dasar mosaik. Beberapa software UAVs seperti Agisoft photoscan, tie point dan keypoint merupakan dasar untuk membuat satu foto nyambung dengan foto lainnya. Jadi seperti istilah pada dunia mapping, “garbage in same as garbage out, then good data in same as good information out”. Maksudnya adalah data yang diinput bagus maka hasilnya data yang bagus, namun sebaliknya, apabila yang diinput adalah data sampah, hasilnya bisa jadi informasi salah.
Kedua, dari jalur terbang yang tergambar terlihat bahwa untuk mengkompensasi apabila hembusan angin kencang dari sisi samping atau crosswind, maka jalur terbang dibuat bertumpuk. Ini sebenarnya tidak efisien, dan masih memungkinkan jarak antar jalur terbang akan tergeser apabila crosswind. Disini terlihat bahwa saya khawatir overlap dan sidelap yang sudah saya rencanakan tidak sesuai target apabila terbang dengan angin kencang.
Ketiga, jumlah foto menjadi sangat banyak. Ini tidak efisien pada saat processing. Bukankah dengan jumlah foto yang banyak akan membuat data jadi semakin bagus kualitasnya? Untuk overlap dan sidelap 80% asal konsisten saya kira menjadi tidak signifikan apabila jumlah fotonya terlalu banyak seperti gambar diatas. Karena jumlah yang banyak akan memperlama proses dan tentunya seleksi foto yang posisinya miring harus dilakukan.
Shutter by time bukanlah cara yang salah. Cara tersebut tidak masalah bagi pemetaan. Namun settingan tersebut akan berimbas apabila melakukan pemotretan terbang pada saat angin. Pada saat terbang searah dengan angin, misalkan input waktu adalah 2 detik, jarak yang ditempuh pesawat akan lebih jauh daripada saat terbang berlawanan dengan arah angin dalam durasi 2 detik tersebut. Imbasnya adalah pada jalur terbang dimana pesawat terbang searah angin, foto akan renggang. Pada jalur terbang dimana pesawat terbang berlawanan arah angin foto menjadi lebih rapat. Tentu saja dengan kejadian tersebut apabila kita mengatur overlap dan sidelap misalkan 80%, maka aktulisasinya tidak akan ketemu, bisa jadi pada foto yang rapat overlap menjadi 90%, dan pada foto yang renggang overlap menjadi 50% atau kurang tergantung kecepatan angin.
Komunikasi Ardi vs Mira.
Agar perekaman foto tidak terpengaruh oleh arah dan kecepatan angin, kita bisa melakukan pengaturan shutter berdasarkan jarak. Cara ini sama persis dengan record point pada GNSS RTK berdasarkan jarak. Misalkan input jarak adalah 5 meter. Maka GNSS RTK akan melakukan perekaman 1 titik per 5 meter. Tidak peduli 5 meter itu bergerak maju ke depan, samping, kanan atau kiri. Logika ini bisa diterapkan pada UAVs. Beberapa produk UAVs buatan luar negeri sudah menggunakan metode ini. Termasuk dengan unit UAVs yang saya pasarkan.
Bagaimana logikanya?
UAVs dilengkapi dengan GPS. GPS ini mampu merekam posisi secara akurat pada saat terbang. Kemampuan menyimpan data posisi ada pada GPS. Sedangkan yang mampu melakukan logika perhitungan jarak adalah autopilot. Sebut saja ardupilot atau pixhawk. Sedangkan yang bisa melakukan perekaman foto adalah kamera. Sehingga untuk menjalankan logika autoshutter by distance dibutuhkan kerjasama dari ketiga komponen tersebut, yaitu GPS, Autopilot, dan juga kamera. Jika kita mampu mengkoneksikan ketiga part tersebut, maka pada software flight plan bisa kita lakukan input autoshutter by distance, misalkan per 10 meter. Maka hasilnya adalah foto dengan overlap yang teratur jaraknya seperti pada gambar dibawah ini.
Perhatikan titik-titik yang terekam pada jalur terbang. Jaraknya teratur. Meskipun terbang dengan angin kencang, baik searah maupun berlawan arah, kamera tidak akan jepret apabila jarak tidak berubah sesuai input parameter jarak yang sudah ditentukan. Untuk sistem yang mature, jenis angin crosswind pun tidak akan masalah pada data meski orientasi frame kamera berubah menyamping, asal overlap dan sidelap disetting tinggi.
Metode ini akan membuat jumlah foto lebih efisien, dan tidak banyak namun dengan overlap dan sidelap yang pasti.
Ini adalah metode simple namun akan bermanfaat apabila kita tidak memiliki spek komputer yang tinggi. Agar setiap melakukan pemotretan tidak akan terjadi bolong tengah seperti yang disebutkan pada tulisan ini. Nah kebanyakan user UAVs masih memahami bahwa autoshutter tidak berpengaruh langsung pada data. Mungkin tulisan saya ini akan memberi gambaran yang berbeda. Karena dimanapun kita terbang, pasti akan berurusan dengan angin. Dan untuk mengantisipasi ketidakefisienan jumlah foto, diperlukan logika yang mampu merekam foto berdasarkan persentase overlap dan sidelap, yaitu autoshutter by distance.
Saran saya untuk rekan-rekan yang akan melakukan pembelian sebuah unit UAVs, teliti lah dahulu apakah unit tersebut sudah cukup menghasilkan foto efisien yang tidak memberatkan komputer pada saat processing. Tentunya selain dites terbang, juga dilihat hasil datanya setelah dilakukan proses orthomosaik, foto yang dihasilkan memiliki jarak yang sama antar foto atau tidak. Karena bisa saja kita melihat pada mission planner pengaturan sudah menggunakan shutter berdasarkan jarak, namun data yang dihasilkan tidak seragam jaraknya. Bisa jadi ketiga komponen yang saya sebutkan diatas belum berkomunikasi ala ardi vs mira.
Semoga bermanfaat.