Semangat pantang menyerah
Akhir tahun 2012 adalah perkenalan saya pertama kali dengan dunia UAV. Namun tidak demikian dengan perkenalan saya dengan poinrclouds. Saya mengenal pointclouds sejak tahun 2009. Dan saat itu saya hanya mengetahui bahwa pointclouds dihasilkan dari alat yang bernama laser scanner. Alat ini menembakkan gelombang laser yang kemudian obyek yang terkena laser akan mengirim balik gelombang tersebut dengan beberapa informasi koordinat sesuai referensi si laser scanner berdiri, dan juga informasi intensitas kekuatan gelombang pantul. Kurang lebih demikian yang saya pahami. Saya mengira jenis data ini memang mampu menggambarkan detil situasi yang yang lebih baik daripada survey terestris. Cepat dan akurat dengan jenis data vector. Awalnya dari coba-coba mengenerate pertampalan beberapa foto menjadi pointcloud. Metode yang mungkin sebagian orang termasuk saya menyebutnya sebagaii raster to vector pointcloud method. Cara ini memang menghasilkan pointclpouds yang mampu menggambarkan detil permukaan bumi dari foto-foto kamera yang notabene adalah data raster.
Perbedaan yang mencolok pointclouds dari foto dengan pointclouds dari laser scanner adalah kolom intensitas gelombang pantul. Pointclouds dari foto tidak memiliki intensitas gelombang pantul. Karena digenerate dari piksel, bukan diperoleh dari pantulan gelombang laser aktif. Selain itu pointclouds dari foto berbeda dengan pointclouds dari laser scanner yang jenisnya multiple target, artinya hampir mustahil foto menghasilkan pointclouds di area-area yang tertutup kanopi, meskipun kanopi itu adalah tajuk tanaman. Dimana masih ada sela-sela daun berdiameter sebesar daun tanaman itu sendiri. Disinilah akar kesulitan dalam membuat klasifikasi obyek non ground dengan data pointclouds dari foto. Imbasnya yaitu ketiadaan sample data point dibawah kanopi. Sehingga interpolasi area-area yang berada di bawah semisal pohon, rumah, semak, dan rumput, dilakukan dengan mengambil sample point terdekat yang merupakan ground. Bagaimana cara klasifikasi tersebut dilakukan, silahkan simak tutorial ini.
Awalnya saya melakukan pilot project di sebuah perusahaan tambang batubara di Sumatera Selatan dengan metode tersebut. Namun karena ketiadaan GCP di project tersebut, akurasi data sangat rendah. Hasil foto udaranya sendiri mengalami translasi sejauh kurang lebih 5-10 meter dari posisi sebenarnya berdasarkan sistem koordinat UTM Zona 48 S. Sedangkan akurasi konturnya mengalami translasi dan skala yang cukup besar. Kelemahan dari pointclouds yang digenerate dari foto tanpa GCP adalah terjadi ketidak seragaman skala, baik secara 2D di sumbu X dan Y, maupun secara 3D di sumbu X,Y, dan Z. Artinya apa, apabila ada obyek yang berukuran 10m panjang, lebar dan tinggi di kenyataan, pada data pointclouds yang digenerate dari foto akan mengalami perubahakan dimensi, bisa bernilai 10 m ± (10-20 GSD). Nilai ini akan membesar atau mengecil apabila foto dihasilkan dari kamera dengan lensa yang cembung. Inilah masalah terbesar dari pointclouds yang digenerate dari foto.
Saya pribadi sangat menyarankan penggunaan GCP untuk mengkoreksi kesalahan akibat translasi, rotasi, dan skala dari pointclouds yang digenerate dari foto. Pilot project pertama tersebut sebenarnya gagal dari segi akurasi, namun saya tidak menyerah begitu saja. Saya gunakan metode postmark, yaitu proses registrasi data ke koordinat sistem dari data GCP yang berupa obyek dilapangan yang dapat dikenali. Tentu saja cara ini berbeda dengan metode GCP yang dipasang terlebih dahulu sebelum melakukan pemotretan. Awal kali melakukan generate pointcloud dari foto terdapat kelemahan, yaitu pointclouds menumpuk dari setiap foto. Untuk disatukan ke dalam 1 model 3D tidak lah mudah. Saya coba berkali-kali menggunakan software yang ada seperti ALDAPAT, ARCGIS, bahkan riscanpro, memang pointclouds dari foto tersebut menumpuk dan bergeser dalam 3 arah sumbu koordinat.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menyatukan pointclouds dari foto sehingga tidak menumpuk seperti kejadian sebelumnya. Ketepatans pengolahan dengan software UAV yang canggih juga bisa dijadikan alternatif solusi dari kelemahan metode tersebut. Beberapa kali uji peta tidak langsung menghasiilkan data yang baik, mengingat jam terbang saya yang masih sangat muda waktu itu, metode kolaborasi seperti yang sebelumnya saya lakukan dalam mengolah data pointclouds di laser scanner saya terapkan. Hasilnya jauh lebih baik dari segi akurasi dan presisi data, meskipun tidak akan sama dengan pointclouds dari laser scanner.
Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 29 Maret 2017