SUTET! bukan sante(t)!
Pada acara tanggal 1 Desember 2016 di Cibubur lalu, ada sebuah pertanyaan menarik yang sengaja saya bahas pada web saya ini.
Efek apa yang diakibatkan apabila drone atau UAV terbang di dekat sutet?
Sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, saya bercerita pengalaman saya sewaktu masih bekerja di PT Almega Geosystems yang merupakan vendor produk-produk Leica Geosystems. Kurang lebih pada tahun 2009 atau 2010, saya lupa-lupa ingat tepatnya, kami mengujicoba sistem CORS (Continuosly operating reference systems) yang berbasis pada GNSS, komunikasi, dan GNSS RTK.
Waktu itu yang dilakukan ujicoba di sekitar daerah Cikarang dengan base diletakaan di kantor BPN Cikarang. Kami menguji kstabilan dan akurasi GNSS RTK yang mendapat koreksi dari stasiun CORS dengan jarak kurang lebih sekitar 9 km. Ada satu titik dimana kami melakukan cek control point BM orde 4 BPN di bawah menara sutet. Biasanya tidak butuh waktu sampai 5 detik GNSS sudah bisa merekam data fix dengan akurasi 3-5 cm. Namun di lokasi ini kami bahkan sampai 1 jam dan masih menunggu GNSS fix correction. Setelah 1 jam kondisi koreksi pun masih dalam kondisi float diatas 20 cm. Saya sampaikan unit GNSS yang kami gunakan adalah triple frequency dengan modem berupa HP yang tersambung dengan M2 (mentari) pada waktu itu dengan kondisi area terbuka. Hanya saja titik yang kami ukur berada tepat dibawah menara sutet.
Apa kaitannya dengan pertanyaan di awal tulisan ini? Ini analisa pendek saya.
Berdasarkan pengalaman kami menggunakan GNSS Geodetik, melakukan pengukuran di bawah sutet sangat mungkin signal GNSS yang berupa gelombang dengan frekuensi diatas 1000MHz rentan mengalami interference atau multipath. Hal ini tidak berbeda dengan GNSS/GPS yang terpasang di UAV atau drone. Saya sebutkan drone DJI Phantom misalkan. Sering kali tiba-tiba terjadi lost signal GPS atau unlock GPS signal terutama bila terbang di area area dekat sutet atau listrik tegangan tinggi. Hal ini dikarena signal GNSS/GPS terganggu dan mengakibatkan posisi tidak lock/terkunci. Pada kondisi serius, bisa mengakibatkan drone terbang liar tak terkendali dan jatuh.
Hal ini tentu berbahaya apabila kita melakukan pekerjaan dengan drone atau UAV di area area tersebut. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut dari pengalaman saya ada 2 metode terbang.
- Terbang dengan mode attitude pada drone-drone sejenis DJI phantom.
- Terbang lebih tinggi diatas menara sutet.
Untuk jenis UAV dengan pesawat fixwing, idealnya terbang diatas menara sutet. Karena jenis UAV fixwing tidak bisa hover seperti halnya pada jenis DJI Phantom.
Bagaimana dengan telemetry dari drone ke remote?
Ya, seperti halnya signal GNSS, remote drone juga menggunakan frekuensi radio misalkan 2.4 Ghz. Frekuensi ini sangat jamak digunakan oleh banyak produk seperti Wifi. Di area hutan tanpa gangguan frekuensi radio, jangkauan remote ke drone pasti akan lebih jauh daripada di area kota yang banyak pemancar wifi dan internet. Untuk itulah safe flight sangat disarankan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
- Problem Solving data DJI “jeglek”
- Model 3D untuk Deteksi Atap atau Tapak Bangunan?
- Pan Sharpening Pada Kamera Multispectral
- DTM dari Micasense Rededge-P
- Typical Pointcloud, Drone RGB VS Drone Lidar Untuk Pembuatan Tapak Bangunan