TUTORIAL | Surveyor itu transformer, begitu juga pilot drone
Mendengar kata transformer, mayoritas dari kita berimajinasi pada film tentang betapa hebatnya sebuah spesies robot yang mampu menyusup ke dalam badan mobil dan berubah menjadi robot jagoan yang handal berperang dan tampak sangar menakutkan. Kali ini saya membahas transformasi yang sedikit berbeda dari robot tersebut. Bagian sangar dan menakutkannya memang sedikit sulit dipisahkan dari proses transformasi koordinat. Paling tidak itu yang saya alami sewaktu masih jadi mahasiswa geodesi di Jogja.
Kita mengenal sistem koordinat global yang mengacu pada datum tertentu semisal World geographic systems 1984. Ini paling umum digunakan, sistem proyeksi geographic dengan satuan degrees decimal maupun dalam satuan derajat, menit, dan detik. Sistem ini pula yang digunakan oleh GNSS/GPS yang tersematkan pada UAV atau drone copter semacam DJI Phantom 3 pro. Karena satuannya masih dalam degress decimal atau derajat menit dan detik, terkadang butuh perhitungan ekstra untuk menghitung luasan atau jarak dua titik dimana peta yang tergambarkan dalam satuan lintang dan bujur.
Untuk itu kita mengenal juga sistem proyeksi Universal tranverse mercator disingkat dengan UTM, dimana 1 zona UTM membagi bola bumi per 6 derajat lebarnya. Namun di beberapa instansi dengan alasan tertentu membagi bola bumi menjadi 3 derajat. Apakah ada imbasnya? Tentu ada. Misalkan kita memetakan suatu area dengan boundary yang kita buat terlebih dahulu, katakanlah dengan membuat boundary di google earth kemudian kita export ke mission planner atau pix4d mapper. Boundary berformat KML dari google earth hanya bisa membaca sistem koordinat geographic dengan satuan derajat menit detik atau kita familiar dengan sebutan lintang dan bujur, atau dalam satuan meter dalam sistem proyeksi UTM.
Apabila dilakukan layout dari data foto tersebut setelah selesai membuat orthomosaic, maka sistem grid yang digunakan bisa satuan meter dalam sistem proyeksi peta UTM, atau satuan lintang bujur dalam satuan derajat menit dan detik. Saran saya untuk membuat grid peta sebaiknya menggunakan sistem proyeksi dengan satuan meter, agar mudah dalam membacanya, begitu juga apabila peta tersebut dibuat untuk user yang awam dengan proyeksi peta. Karena dengan melihatnya saja kita sudah bisa menghitung jarak 2 titik di atas peta dalam satuan metrik, tinggal mengkalikan dengan nilai skala nya. Namun tidak keliru apabila membuat peta dengan sistem grid satuan degress decimal ataupun derajat menit detik.
Di Indonesia terdapat instansi yaitu BPN yang menggunakan sistem proyeksi yang berbeda, yaitu sistem tranverse mercator dengan lebar 3 derajat, atau disebut TM3 BPN. Untuk istilah-istilah dalam sistem koordinat, bisa di searching di internet lebih detilnya. Tulisan saya ini membahas mengenai transformasinya. Apabila kita mendapat boundary dari kantor BPN, jika di plot ke mission planner atau pix4d mapper, unit pesawat bisa saja terbang ke negeri antah berantah. Mengapa? Karena mayoritas software flight planner tidak mengenal sistem proyeksi TM3 BPN. Untuk itu kita perlu melakukan yang namanya transformasi koordinat dari TM3 BPN ke sistem koordinat global semisal UTM agar software flight planner bisa membacanya dan unit drone atau UAV bisa memotret sesuai lokasi yang dimaksud dilapangan.
Konsep sederhana dari sebuah transformasi adalah mengembalikan semua sistem proyeksi lokal ke sistem proyeksi global, kemudian dari sistem proyeksi global dibawa ke sistem proyeksi yang dikehendaki. Semisal kita membuat boundary dari sistem TM3 BPN. Agar mudah dibaca oleh drone, boundary tersebut kita transformasi ke sistem proyeksi global yaitu sistem geographic, baru kemudian jika diinginkan dalam sistem UTM, dari sistem global ditransformasi lagi ke sistem UTM. Video Tutorial berikut ini adalah proses transformasi dari sistem global UTM ke TM3 BPN dengan menggunakan global mapper. Apakah hanya bisa di global mapper, tentu tidak. Ada banyak software yang bisa digunakan untuk melakukan transformasi sistem tersebut seperti Arcgis, Autocad, dan software lainnya.
Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 21 Februari 2017